Masih banyak diantara kita yang bingung membedakan jenis-jenis hutang. Padahal, pemahaman mengenai jenis hutang ini teramat penting mengingat ada kaidah yang mengatakan bahwa manfaat yang diambil dari hutang adalah riba. Manfaat itu sendiri amat beragam jenisnya. Mulai dari tambahan berupa uang, hadiah, tumpangan diatas kendaraan, hingga pemanfaatan agunan dsb. Nah, catatan berikut mengurai perbedaan antara hutang jenis Qordh dan Dayn. Apa saja ?
PERTAMA
Klasifikasi harta yang diutang secara umum ada dua jenis. Pertama: harta ghayr mitsliy[an], yaitu barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya seperti hewan, kayu bakar, pakaian, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya. Secara lebih spesifik utang harta jenis ini disebut dayn. Dayn juga mencakup utang berupa kompensasi harta lain dalam akad pertukaran harta yang penunaiannya ditunda setelah tempo tertentu atau harga barang yang disepakati akan dibayar setelah tempo tertentu.
Kedua: harta yang bersifat mitsliy[an] (memiliki padanan dan bisa dicarikan padanannya). Contoh: beras jenis tertentu, kain jenis tertentu, emas, perak, uang dan sejenisnya. Secara umum barang yang standarnya takaran, timbangan dan hitungan, termasuk harta jenis ini. Secara lebih spesifik utang harta jenis ini disebut qardh[un]. Utang dalam bentuk qardh[un] ini harus dikembalikan dengan harta yang sama baik dari sisi jenis, jumlah maupun sifatnya.
KEDUA
Soal Pembayaran Hutang. Syariah menetapkan, akad utang tidak boleh dijadikan sebagai cara untuk memperoleh penghasilan, juga bukan sarana untuk melakukan eksploitasi. Syariah melarang utang yang melahirkan tambahan manfaat, baik berupa manfaat lain atau tambahan jumlah harta yang diutang. Tambahan itu adalah riba. Jika tambahan itu disyaratkan di dalam akad maka itu adalah riba dan hukumnya haram. Ali ra. berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang utang yang menarik suatu manfaat (HR al-Harits bin Abi Usamah).
Ibn al-Mundzir menyatakan, para Sahabat Nabi saw. telah berijmak bahwa kreditor, jika mensyaratkan kepada debitor suatu tambahan atau hadiah, lalu ia memberi utang berdasarkan hal itu maka mengambil tambahan itu adalah riba. Bagaimana jika tidak disyaratkan di awal ?
Jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka jika tambahan itu berupa tambahan jumlah harta yang sama maka jelas itu adalah riba. Jika tambahan itu berupa harta lain seperti dalam bentuk hadiah atau manfaat seperti tumpangan maka itu juga tidak boleh; kecuali yang biasa terjadi diantara keduanya sejak sebelumnya dan bukan karena akad utang itu.
Yahya bin Abiy Ishaq al-Huna’i menuturkan, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik ra., tentang seseorang yang mengutangi (memberi qardh) saudaranya harta, lalu saudaranya itu memberinya hadiah. Anas ra., berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
Jika salah seorang di antara kalian memberi utang (qardh), lalu ia diberi hadiah (oleh pengutang) atau si pengutang membawanya di atas hewan tunggangan maka jangan ia menaikinya dan jangan menerima hadiah itu, kecuali yang demikian itu biasa terjadi di antara keduanya sebelum utang-piutang itu (HR Ibn Majah).
Ada hadist penuturan Abu Rafi’ ra.:
Nabi saw. pernah berutang seekor anak unta. Lalu datanglah unta sedekah. Kemudian Nabi saw. menyuruhku untuk membayar anak unta itu. Aku berkata, “Saya tidak menemukan selain unta yang lebih baik berupa unta umur enam tahun.” Rasul saw. bersabda:
أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik pengembaliannya (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Dari hadis tersebut jelas pengembalian yang lebih baik itu tidak disyaratkan sejak awal, tetapi murni inisiatif debitor (al-mustaslif). Itu juga bukan tambahan atas jumlah sesuatu yang diutang karena tidak ada tambahan atas jumlah unta yang dibayarkan dan tidak ada pula tambahan apapun atas unta yang diutang. Itu tidak lain adalah pengembalian yang semisal dengan apa yang diutang; seekor hewan dengan seekor hewan, namun lebih tua dan lebih besar tubuhnya. Itulah yang dimaksud dengan pengembalian yang lebih baik (husn al-qadhâ’).
Secara syar’i husn al-qadhâ’ hukumnya boleh. Husn al-qadhâ’ adalah mengembalikan utang semisal apa yang diutang (jumlah dan jenisnya) tetapi dengan kualitas atau ukuran lebih baik. Jika diperhatikan, husn al-qadhâ’ ini bisa dilakukan dalam utang yang berbentuk dayn dan tidak dalam qardh[un]. Utang dalam bentuk qardh[un] harus dikembalikan dengan harta yang sama baik jenis, ukuran, sifat, dan jumlahnya. Demikian.
Semoga bermanfaat.
(sumber:Team Developer Property Syariah)